Senin, 24 September 2012

simbol bahan berbahaya dan beracun




1. Flammable (mudah terbakar)
      Jenis bahaya flammable dibagi menjadi dua yaitu Extremely flammable (amat sangat mudah terbakar) dan Highly flammable (sangat mudah terbakar. Untuk Bahan-bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya “extremely flammable “ merupakan likuid yang memiliki titik nyala sangat rendah (di bawah 0 0C) dan titik didih rendah dengan titik didih awal (di bawah +350C). Bahan amat sangat mudah terbakar berupa gas dengan udara dapat membentuk suatu campuran bersifat mudah meledak di bawah kondisi normal. Frase-R untuk bahan amat sangat mudah terbakar adalah R12. Sedangkan untuk Bahan dan formulasi ditandai dengan notasi bahaya ‘highly flammable’ adalah subyek untuk self-heating dan penyalaan di bawah kondisi atmosferik biasa, atau mereka mempunyai titik nyala rendah (di bawah +21 0C). Beberapa bahan sangat mudah terbakar menghasilkan gas yang amat sangat mudah terbakar di bawah pengaruh kelembaban. Bahan-bahan yang dapat menjadi panas di udara pada temperatur kamar tanpa tambahan pasokan energi dan akhirnya terbakar, juga diberi label sebagai ‘highly flammable’. Frase-R untuk bahan sangat mudah terbakar yaitu R11

Bahaya : mudah terbakar
Meliputi :
  1. zat terbakar langsung, contohnya aluminium alkil fosfor; keamanan : hindari campuran dengan udara.
  2. gas amat mudah terbakar. Contoh : butane, propane. Keamanan : hindari campuran dengan udara dan hindari sumber api.
  3. Zat sensitive terhadap air, yakni zat yang membentuk gas mudah terbakar bila kena air atau api.
  4. Cairan mudah terbakar, cairan dengan titik bakar di bawah 21 0C. contoh : aseton dan benzene. Keamanan : jauhkan dari sumber api dan loncatan bunga api.
2. Corrosive (korosif)
     Bahan dan formulasi dengan notasi ‘corrosive’ adalah merusak jaringan hidup. Jika suatu bahan merusak kesehatan dan kulit hewan uji atau sifat ini dapat diprediksi karena karakteristik kimia bahan uji, seperti asam (pH <2)>11,5), ditandai sebagai bahan korosif. Frase-R untuk bahan korosif yaitu R34 dan R35.
  • Bahaya : korosif atau merusak jaringan tubuh manusia
  • Contoh : klor, belerang dioksida
  • Keamanan : hindari terhirup pernapasan, kontak dengan kulit dan mata
3. Toxic (beracun)
     Bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya ‘toxic’ dapat menyebabkan kerusakan kesehatan akut atau kronis dan bahkan kematian pada konsentrasi sangat tinggi jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui mulut (ingestion), atau kontak dengan kulit.
Suatu bahan dikategorikan beracun jika memenuhi kriteria berikut:
LD50 oral (tikus) 25 – 200 mg/kg berat badan
LD50 dermal (tikus atau kelinci) 50 – 400 mg/kg berat badan
LC50 pulmonary (tikus) untuk aerosol /debu 0,25 – 1 mg/L
LC50 pulmonary (tikus) untuk gas/uap 0,50 – 2 mg/L
Frase-R untuk bahan beracun yaitu R23, R24 dan R25
  • Bahaya : toksik; berbahaya bagi kesehatan bila terhisap, terteln atau kontak dengan kulit, dan dapat mematikan.
  • Contoh : arsen triklorida, merkuri klorida
  • Kemananan : hindari kontak atau masuk dalam tubuh, segera berobat ke dokter bila kemungkinan keracunan.
4. Harmful irritant (bahaya, iritasi)
    Ada sedikit perbedaan pada symbol ini yaitu dibedakan dengan kode Xn dan Xi. Untuk Bahan dan formulasi yang ditandai dengan kode Xn memiliki resiko merusak kesehatan sedangkan jika masuk ke tubuh melalui inhalasi, melalui mulut (ingestion), atau kontak dengan kulit.
Suatu bahan dikategorikan berbahaya jika memenuhi kriteria berikut:
LD50 oral (tikus) 200-2000 mg/kg berat badan
LD50 dermal (tikus atau kelinci) 400-2000 mg/kg berat badan
LC50 pulmonary (tikus) untuk aerosol /debu 1 – 5 mg/L
LC50 pulmonary (tikus) untuk gas/uap 2 – 20 mg/L
Frase-R untuk bahan berbahaya yaitu R20, R21 dan R22
     Sedangkan Bahan dan formulasi dengan notasi ‘irritant’ atau kode Xi adalah tidak korosif tetapi dapat menyebabkan inflamasi jika kontak dengan kulit atau selaput lendir. Frase-R untuk bahan irritant yaitu R36, R37, R38 dan R41
Kode Xn (Harmful)
  • Bahaya : menimbulkan kerusakan kecil pada tubuh,
  • Contoh : peridin
  • Kemanan : hindari kontak dengan tubuh atau hindari menghirup, segera berobat ke dokter bila kemungkinan keracunan.
Kode Xi (irritant)
  • Bahaya : iritasi terhadap kulit, mata, dan alat pernapasan
  • Contoh : ammonia dan benzyl klorida
  • Keamanan : hindari terhirup pernapasan, kontak dengan kulit dan mata.
5. Explosive (bersifat mudah meledak)
     Bahan dan formulasi yang ditandai dengan notasi bahaya „explosive“ dapat meledak dengan pukulan/benturan, gesekan, pemanasan, api dan sumber nyala lain bahkan tanpa oksigen atmosferik. Ledakan akan dipicu oleh suatu reaksi keras dari bahan. Energi tinggi dilepaskan dengan propagasi gelombang udara yang bergerak sangat cepat. Resiko ledakan dapat ditentukan dengan metode yang diberikan dalam Law for Explosive Substances Di laboratorium, campuran senyawa pengoksidasi kuat dengan bahan mudah terbakar atau bahan pereduksi dapat meledak . Sebagai contoh, asam nitrat dapat menimbulkan ledakan jika bereaksi dengan beberapa solven seperti aseton, dietil eter, etanol, dll. Produksi atau bekerja dengan bahan mudah meledak memerlukan pengetahuan dan pengalaman praktis maupun keselamatan khusus. Apabila bekerja dengan bahan-bahan tersebut kuantitas harus dijaga sekecil/sedikit mungkin baik untuk penanganan maupun persediaan/cadangan. Frase-R untuk bahan mudah meledak : R1, R2 dan R3
  • Bahaya : eksplosif pada kondisi tertentu
  • Contoh : ammonium nitrat, nitroselulosa, TNT
  • Keamanan : hindari benturan, gesekan, loncatan api, dan panas




















Minggu, 16 September 2012

ALZHEIMER


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Definisi  
Alzheimer  merupakan penyakit kronik, progresif, dan merupakan gangguan degeneratif otak dan diketahui mempengaruhi memori, kognitif dan kemampuan untuk merawat diri. (Suddart, & Brunner, 2002).
Demensia tipe alzheimer (DAT) adalah proses degeneratif yang terjadi pertama-tama pada sel yang terletak pada dasar dari otak depan yang mengirim informasi ke korteks serebral dan hipokampus. (Doenges, 2000)
Penyakit alzheimer merupakan degeneratif progresif dimana patologi primernya adalah pembentukan plak neuritis disekeliling neuron dan turunnya kadar asetilkolin di otak. (Engram, 1999)
Alzheimer adalah penyakit yang merusak dan menimbulkan kelumpuhan, yang terutama menyerang orang berusia 65 tahun keatas (patofiologi : konsep klinis proses- proses penyakit, juga merupakan penyakit dengan gangguan degeneratif yang mengenai sel-sel otak dan menyebabkan gangguan fungsi intelektual, penyakit ini timbul pada pria dan wanita dan menurut dokumen terjadi pada orang tertentu pada usia 40 tahun. (Perawatan Medikal Bedah : jilid 1 hal 1003).
Sehingga dengan demikian Alzheimer adalah penyakit kronik, degeneratif yang ditandai dengan penurunan daya ingat, intelektual, kepribadian yang dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan merawat diri. Penyakit ini menyerang orang berusia 65 tahun keatas.

2
Epidemiologi / Insiden kasus
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat dengan usia. Sekitar 10%  populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu berusia diatas 85 tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi lansia, maka penyakit alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden kasus alzheimer meningkat pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki.

2.3    Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.

2.2   Epidemiologi / Insiden kasus
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat dengan usia. Sekitar 10%  populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu berusia diatas 85 tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi lansia, maka penyakit alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden kasus alzheimer meningkat pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki.

2.3    Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
Di Amerika, sekitar 4 juta orang menderita penyakit ini. Angka prevalansi berhubungan erat dengan usia. Sekitar 10%  populasi diatas 65 tahun menderita penyakit ini. Bagi individu berusia diatas 85 tahun, angka ini meningkat sampai 47,2%. Dengan meningkatnya populasi lansia, maka penyakit alzheimer menjadi penyakit yang semakin bertambah banyak. Insiden kasus alzheimer meningkat pesat sehingga menjadi epidemi di Amerika dengan insiden alzheimer sebanyak 187 : 100.000 per tahun dan penderita alzheimer 123 : 100.000 per tahun.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi wanita lebih banyak tiga kali dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin refleksi dari usia harapan hidup wanita lebih lama dibandingkan laki-laki.

2.3    Etiologi
Penyebab yang pasti belum diketahui. Beberapa alternative penyebab yang telah dihipotesa adalah intoksikasi logam, gangguan fungsi imunitas, infeksi flament, predisposisi heriditer. Dasar kelainan patologi penyakit Alzheimer terdiri dari degenerasi neuronal, kematian daerah spesifik jaringan otak yang mengakibatkan gangguan fungsi kongnitif dengan penurunan daya ingat secara progresif. Adanya defisiensi faktor pertumbuhan atau asam amino dapat berperan dalam kematian selektif neuron. Kemungkinan sel-sel tersebut mengalami degenerasi yang diakibatkan oleh adanya peningkatan kalsium intraseluler, kegagalan metabolisme energi, adanya formasi radikal bebas atau terdapat produksi protein abnormal yang non spesifik. Penyakit Alzheimer adalah penyakit genetika, tetapi beberapa penelitian telah membuktikan bahwa peran faktor non-genetika (lingkungan) juga ikut terlibat, dimana faktor lingkungan hanya sebagai pencetus faktor genetika.
 
4    Patofisiologi
Terdapat beberapa perubahan khas biokimia dan neuropatologi yang dijumpai pada penyakit Alzheimer, antara lain: serabut neuron yang kusut (masa kusut neuron yang tidak berfungsi) dan plak seni atau neuritis (deposit protein beta-amiloid, bagian dari suatu protein besar, protein prukesor amiloid (APP). Kerusakan neuron tersebut terjadi secara primer pada korteks serebri dan mengakibatkan rusaknya ukuran otak.                                                              
Secara maskroskopik, perubahan otak pada Alzheimer melibatkan kerusakan berat neuron korteks dan hippocampus, serta penimbunan amiloid dalam pembuluh darah intracranial. Secara mikroskopik, terdapat perubahan morfologik (structural) dan biokimia pada neuron – neuron. Perubahan morfologis terdiri dari 2 ciri khas lesi yang pada akhirnya berkembang menjadi degenarasi soma dan atau akson dan atau dendrit. Satu tanda lesi pada AD adalah kekusutan neurofibrilaris yaitu struktur intraselular yang berisi serat kusut dan sebagian besar terdiri dari protein “tau”.  Dalam SSP, protein tau sebagian besar sebagai penghambat pembentuk structural yang terikat dan menstabilkan mikrotubulus dan merupakan komponen penting dari sitokleton sel neuron. Pada neuron AD terjadi fosforilasi abnormal dari protein tau, secara kimia menyebabkan perubahan pada tau sehingga tidak dapat terikat pada mikrotubulus secara bersama – sama. Tau yang abnormal terpuntir masuk ke filament heliks ganda yang sekelilingnya masing – masing terluka. Dengan kolapsnya system transport internal, hubungan interseluler adalah yang pertama kali tidak berfungsi dan akhirnya diikuti kematian sel.  Pembentukan neuron yang kusut dan berkembangnya neuron yang rusak menyebabkan Alzheimer.
Lesi khas lain adalah plak senilis, terutama terdiri dari beta amiloid (A-beta) yang terbentuk dalam cairan jaringan di sekeliling neuron bukan dalam sel neuronal. A-beta adalah fragmen protein prekusor amiloid (APP) yang pada keadaan normal melekat pada membrane neuronal yang berperan dalam pertumbuhan dan pertahanan neuron. APP terbagi menjadi fragmen – fragmen oleh protease, salah satunya A-beta, fragmen lengket yang berkembang menjadi gumpalan yang bisa larut. Gumpalan tersebut akhirnya bercampur dengan sel – sel glia yang akhirnya membentuk fibril – fibril plak yang membeku, padat, matang, tidak dapat larut, dan diyakini beracun bagi neuron yang utuh. Kemungkinan lain adalah A-beta menghasilkan radikal bebas sehingga mengganggu hubungan intraseluler dan menurunkan respon pembuluh darah sehingga mengakibatkan makin rentannya neuron terhadap stressor. Selain karena lesi, perubahan biokimia dalam SSP juga berpengaruh pada AD. Secara neurokimia kelainan pada otak.

2.5        Gejala  Klinis
Berlangsung lama dan bertahap, sehingga pasien dan keluarga tidak menyadari secara pasti kapan timbulnya penyakit.
1.      Terjadi pada usia 40-90 tahun.
2.      Tidak ada kelainana sistemik atau penyakit otak lainnya.
3.      Tidak ada gangguan kesadaran.
4.      Perburukan progresif fungsi bahasa, keterampilan motorik dan persepsi.
5.      Riwayat keluarga Alzheimer, parkinson, diabetes melitus, hipertensi dan kelenjar tiroid.  
Gejala klinis dapat terlihat sebagai berikut :
1.      Kehilangan daya ingat/memori
Pada orang tua normal, dia tidak ingat nama tetangganya, tetapi dia tahu orang itu adalah tetangganya. Pada penderita Alzheimer, dia bukan saja lupa nama tetangganya tetapi juga lupa bahwa orang itu adalah tetangganya.
2.      Kesulitan melakukan aktivitas rutin yang biasa
Seperti tidak tahu bagaimana cara membuka baju atau tidak tahu urutan-urutan menyiapkan makanan.
3.      Kesulitan berbahasa.
Umumnya pada usia lanjut didapat kesulitan untuk menemukan kata yang tepat, tetapi penderita Alzheimer lupa akan kata-kata yang sederhana atau menggantikan suatu kata dengan kata yang tidak biasa.
4.      Disorientasi waktu dan tempat.
Kita terkadang lupa kemana kita akan pergi atau hari apa saat ini, tetapi penderita Alzheimer dapat tersesat pada tempat yang sudah familiar untuknya, lupa di mana dia saat ini, tidak tahu bagaimana cara dia sampai di tempat ini, termasuk juga apakah saat ini malam atau siang.
5.      Penurunan dalam memutuskan sesuatu atau fungsi eksekutif
Misalnya tidak dapat memutuskan menggunakan baju hangat untuk cuaca dingin atau sebaliknya.
6.      Salah menempatkan barang.
Seseorang secara temporer dapat salah menempatkan dompet atau kunci. Penderita Alzheimer dapat meletakkan sesuatu pada tempat yang tidak biasa, misal jam tangan pada kotak gula.
7.      Perubahan tingkah laku.
Seseorang dapat menjadi sedih atau senang dari waktu ke waktu. Penderita Alzheimer dapat berubah mood atau emosi secara tidak biasa tanpa alasan yang dapat diterima.
8.      Perubahan perilaku
Penderita Alzheimer akan terlihat berbeda dari biasanya, ia akan menjadi mudah curiga, mudah tersinggung, depresi, apatis atau mudah mengamuk, terutama saat problem memori menyebabkan dia kesulitan melakukan sesuatu.
9.      Kehilangan inisiatif
Duduk di depan TV berjam-jam, tidur lebih lama dari biasanya atau tidak menunjukan minat pada hobi yang selama ini ditekuninya.(Yulfran, 2009)

2.7    Pemeriksaan Diagnostik
Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes diagnostik sebagai berikut:
2.7.1        Pemeriksaan Neuropsikologik
Fungsi pemeriksaan neuropsikologik ini untuk menentukan ada atau tidak adanya gangguan fungsi kognitif umum dan mengetahui secara rinci pola defisit yang terjadi.
2.7.2        CT Scan dan MRI
    Merupakan metode non invasif yang beresolusi tinggi untuk melihat kwantifikasi perubahan volume jaringan otak pada penderita Alzheimer antemortem.
2.7.3        EEG
Berguna untuk mengidentifikasi aktifitas bangkitan yang subklinis.
1.       PET (Positron Emission Tomography)
 
1.         SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
2.7.1        Laboratorium darah
pemeriksaan darah rutin, B12, Calsium, Posfor, fungsi renal dan hepar, tiroid, asam folat, serologi sifilis, skrining antibody yang dilakukan secara selektif. (Yulfran, 2009)

2.8    Tindakan Penanganan/Penatalaksanaan
Pengobatan penyakit Alzheimer masih sangat terbatas oleh karena penyebab dan patofisiologis masih belum jelas. Pengobatan simptomatik dan suportif seakan hanya memberikan rasa puas pada penderita dan keluarga.
  •   Pengobatan simptomatik:
1)      Inhibitor kolinesterase
Tujuan: Untuk mencegah penurunan kadar asetilkolin dapat digunakan anti kolinesterase yang bekerja secara sentral
2)      Thiamin
Tujuan: perbaikan bermakna terhadap fungsi kognisi dibandingkan placebo selama periode yang sama.
3)      Nootropik
Nootropik merupakan obat psikotropik.
Tujuan: memperbaiki fungsi kognisi dan proses belajar.
4)      Klonidin
Tujuan: kurang memuaskan untuk memperbaiki fungsi kognitif
5)      Haloperiodol
Haloperiodol 1-5 mg/hari selama 4 minggu akan memperbaiki gejala tersebut
Bila penderita Alzheimer menderita depresi berikan tricyclic anti depresant (amitryptiline 25-100 mg/hari)
6)      Acetyl L-Carnitine (ALC)
Merupakan suatu substrat endogen yang disintesa didalam mitokondria dengan bantuan enzym ALC transferase.
Tujuan : meningkatkan aktivitas asetil kolinesterase, kolin asetiltransferase.
2.9    Pencegahan
Para ilmuwan berhasil mendeteksi beberapa faktor resiko penyebab Alzheimer, yaitu : usia lebih dari 65 tahun, faktor keturunan, lingkungan yang terkontaminasi dengan logam berat, rokok, pestisida, gelombang elektromagnetic, riwayat trauma kepala yang berat dan penggunaan terapi sulih hormon pada wanita. Dengan mengetahui faktor resiko di atas dan hasil penelitian yang lain, dianjurkan beberapa cara untuk mencegah penyakit Alzheimer, di antaranya yaitu :
1.      Bergaya hidup sehat, misalnya dengan rutin berolahraga, tidak merokok maupun mengkonsumsi alkohol.
2.      Mengkonsumsi sayur dan buah segar. Hal ini penting karena sayur dan buah segar mengandung antioksidan yang berfungsi untuk mengikat radikal bebas. Radikal bebas ini yang merusak sel-sel tubuh.
3.      Menjaga kebugaran mental (mental fitness). Istilah ini mungkin masih jarang terdengar. Cara menjaga kebugaran mental adalah dengan tetap aktif membaca dan memperkaya diri dengan berbagai pengetahuan.

Pneumonia


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pneumonia
2.1.1 Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) biasanya disebabkan oleh masuknya kuman bakteri, yang ditandai oleh gejala klinis batuk, demam tinggi dan disertai adanya napas cepat ataupun tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Dalam pelaksanaan Pemberantasan Penyakit ISPA (P2ISPA) semua bentuk pneumonia baik pneumonia maupun bronchopneumonia disebut pneumonia (Depkes RI, 2002).
Pneumonia merupakan penyakit batuk pilek disertai napas sesak atau napas cepat. Napas sesak ditandai dengan dinding dada bawah tertarik ke dalam, sedangkan napas cepat diketahui dengan menghitung tarikan napas dalam satu menit. Untuk balita umur 2 tahun sampai 5 tahun tarikan napasnya 40 kali atau lebih dalam satu menit, balita umur 2 bulan sampai 2 tahun tarikan napasnya 50 kali atau lebih per menit, dan umur kurang dari 2 bulan tarikan napasnya 60 kali atau lebih per menit (Depkes, 1991).
Pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur, dan benda asing (perawatan anak sakit, 1997)
Pneumonia adalah infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim paru (kapita selekta kedokteran, jilid 2)
2.1.2 Penyebab Pneumonia
Pneumonia yang ada di kalangan masyarakat umumnya disebabkan oleh bakteri, virus, mikoplasma (bentuk peralihan antara bakteri dan virus) dan protozoa.
  1. Bakteri
Pneumonia yang dipicu bakteri bisa menyerang siapa saja, dari bayi sampai usia lanjut. Sebenarnya bakteri penyebab pneumonia yang paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sudah ada di kerongkongan manusia sehat. Begitu pertahanan tubuh menurun oleh sakit, usia tua atau malnutrisi, bakteri segera memperbanyak diri dan menyebabkan kerusakan. Balita yang terinfeksi pneumonia akan panas tinggi, berkeringat, napas terengah-engah dan denyut jantungnya meningkat cepat (Misnadiarly, 2008).
  1. Virus
Setengah dari kejadian pneumonia diperkirakan disebabkan oleh virus. Virus yang tersering menyebabkan pneumonia adalah Respiratory Syncial Virus (RSV). Meskipun virus-virus ini kebanyakan menyerang saluran pernapasan bagian atas, pada balita gangguan ini bisa memicu pneumonia. Tetapi pada umumnya sebagian besar pneumonia jenis ini tidak berat dan sembuh dalam waktu singkat. Namun bila infeksi terjadi bersamaan dengan virus influenza, gangguan bisa berat dan kadang menyebabkan kematian (Misnadiarly, 2008).
  1. Mikoplasma
Mikoplasma adalah agen terkecil di alam bebas yang menyebabkan penyakit pada manusia. Mikoplasma tidak bisa diklasifikasikan sebagai virus maupun bakteri, meski memiliki karakteristik keduanya. Pneumonia yang dihasilkan biasanya berderajat ringan dan tersebar luas. Mikoplasma menyerang segala jenis usia, tetapi paling sering pada anak pria remaja dan usia muda. Angka kematian sangat rendah, bahkan juga pada yang tidak diobati (Misnadiarly, 2008).
  1. Protozoa
Pneumonia yang disebabkan oleh protozoa sering disebut pneumonia pneumosistis. Termasuk golongan ini adalah Pneumocystitis Carinii Pneumonia (PCP). Pneumonia pneumosistis sering ditemukan pada bayi yang prematur. Perjalanan penyakitnya dapat lambat dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan, tetapi juga dapat cepat dalam hitungan hari. Diagnosis pasti ditegakkan jika ditemukan P. Carinii pada jaringan paru atau spesimen yang berasal dari paru (Djojodibroto, 2009).
2.1.3 Faktor Risiko Penyebab Terjadinya Pneumonia
Banyak faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia pada balita (Depkes, 2004), diantaranya :
  1. Faktor risiko yang terjadi pada balita
Salah satu faktor yang berpengaruh pada timbulnya pneumonia dan berat ringannya penyakit adalah daya tahan tubuh balita. Daya tahan tubuh tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya :
  1. Status gizi
Keadaan gizi adalah faktor yang sangat penting bagi timbulya pneumonia. Tingkat pertumbuhan fisik dan kemampuan imunologik seseorang sangat dipengaruhi adanya persediaan gizi dalam tubuh dan kekurangan zat gizi akan meningkatkan kerentanan dan beratnya infeksi suatu penyakit seperti pneumonia (Dailure, 2000).
  1. Status imunisasi
Kekebalan dapat dibawa secara bawaan, keadaan ini dapat dijumpai pada balita umur 5-9 bulan, dengan adanya kekebalan ini balita terhindar dari penyakit. Dikarenakan kekebalan bawaan hanya bersifat sementara, maka diperlukan imunisasi untuk tetap mempertahankan kekebalan yang ada pada balita (Depkes RI, 2004). Salah satu strategi pencegahan untuk mengurangi kesakitan dan kematian akibat pneumonia adalah dengan pemberian imunisasi. Melalui imunisasi diharapkan dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit yang dapapat dicegah dengan imunisasi.
  1. Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Asi yang diberikan pada bayi hingga usia 4 bulan selain sebagai bahan makanan bayi juga berfungsi sebagai pelindung dari penyakit dan infeksi, karena dapat mencegah pneumonia oleh bakteri dan virus. Riwayat pemberian ASI yang buruk menjadi salah satu faktor risiko yang dapat meningkatkan kejadian pneumonia pada balita (Dailure, 2000).
  1. Umur Anak
Umur merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan kejadian pneumonia. Risiko untuk terkena pneumonia lebih besar pada anak umur dibawah 2 tahun dibandingkan yang lebih tua, hal ini dikarenakan status kerentanan anak di bawah 2 tahun belum sempurna dan lumen saluran napas yang masih sempit (Daulaire, 2000).
  1. Faktor Lingkungan
Lingkungan khususnya perumahan sangat berpengaruh pada peningkatan resiko terjadinya pneumonia. Perumahan yang padat dan sempit, kotor dan tidak mempunyai sarana air bersih menyebabkan balita sering berhubungan dengan berbagai kuman penyakit menular dan terinfeksi oleh berbagai kuman yang berasal dari tempat yang kotor tersebut (Depkes RI, 2004), yang berpengaruh diantaranya :
  1. Ventilasi
Ventilasi berguna untuk penyediaan udara ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari ruangan yang tertutup. Termasuk ventilasi adalah jendela dan penghawaan dengan persyaratan minimal 10% dari luas lantai. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan naiknya kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan media untuk berkembangnya bakteri terutama bakteri patogen (Semedi, 2001).
  1. Polusi Udara
Pencemaran udara yang terjadi di dalam rumah umumnya disebabkan oleh polusi di dalam dapur. Asap dari bahan bakar kayu merupakan faktor risiko terhadap kejadian pneumonia pada balita. Polusi udara di dalam rumah juga dapat disebabkan oleh karena asap rokok, kompor gas, alat pemanas ruangan dan juga akibat pembakaran yang tidak sempurna dari kendaraan bermotor (Lubis, 1989).

2.1.4 Klasifikasi Pneumonia
  1. Berdasarkan Umur
  1. Kelompok umur < 2 bulan
·         Pneumonia berat
Bila disertai dengan tanda-tanda klinis seperti berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang, rasa kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38ºC atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (di bawah 35,5 ºC), pernapasan cepat 60 kali atau lebih per menit, penarikan dinding dada berat, sianosis sentral (pada lidah), serangan apnea, distensi abdomen dan abdomen tegang.
·         Bukan pneumonia
Jika anak bernapas dengan frekuensi kurang dari 60 kali per menit dan tidak terdapat tanda pneumonia seperti di atas.
  1. Kelompok umur 2 bulan sampai < 5 tahun
·         Pneumonia sangat berat
Batuk atau kesulitan bernapas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak dapat minum, adanya penarikan dinding dada, anak kejang dan sulit dibangunkan.
·         Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas dan penarikan dinding dada, tetapi tidak disertai sianosis sentral dan dapat minum.
·         Pneumonia
Batuk atau kesulitan bernapas dan pernapasan cepat tanpa penarikan dinding dada.
·         Bukan pneumonia (batuk pilek biasa)
Batuk atau kesulitan bernapas tanpa pernapasan cepat atau penarikan dinding dada.
·         Pneumonia persisten
Balita dengan diagnosis pneumonia tetap sakit walaupun telah diobati selama 10-14 hari dengan dosis antibiotik yang kuat dan antibiotik yang sesuai, biasanya terdapat penarikan dinding dada, frekuensi pernapasan yang tinggi, dan demam ringan (WHO, 2003).
  1. Menurut anatomis
a.       pneumonia lobaris
Biasanya gejala penyakit secara mendadak, tapi kadang-kadang didahului oleh infeksi traktus respiratorius bagian atas. Pada anak besar sering disertai badan menggigil dan dan pada bayi dapat disertai kejang. Suhu naik cepat sampai 39-40°C dan suhu ini biasanya menunjukkan febris kontinu. Napas menjadi sesak, disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut serta rasa nyeri pada dada. Anak lebih suka tiduran pada dada yang sakit. Batuk mula-mula kering kemudian menjadi produktif.
Pada pemeriksaan fisik, kelainan yang khas tampak setelah 1-2hari. Pada inspeksi dan palpasi tampak pergeseran toraks yang terkena berkurang. Pada permulaan suara pernapasan melemah sedangkan pada perkusi jelas terdengar tidak jelas ada kelainan. Setelah terjadi kongesti, ronki basah nyaring terdengar yang segera menghilang setelah terjadi konsolidasi, kemudian pada perkusi jelas terdengar keredupan dengan suara pernapasan sub-bronkial sampai bronchial. Pada stadium resolusi ronki terdengar lebih jelas. Tanpa pengobatan dapat sembuh dengan krisis 5-9hari.
b.      Bronkopneumonia
Biasanya didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas selama beberapa hari. Suhu dapat naik sangat mendadak sampai 39-40°C dan mungkin disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dipsneu. Pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan penyakit, mungkin terdapat batuk setelah beberapa hari, mula-mula kering kemudian menjadi produktif. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik, tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar mulut dan hidung, harus dipikirkan kemungkinan pneumonia. Pada bronkopneumonia, hasil pemeriksaan fisis tergantung pada luas daerah yang terkena.
  1. Berdasarkan etiologi
a.       Pneumonia stapilokokus
Disebabkan oleh stafilokokus aureus, tergolong pneumonia yang berat karena menjadi progresif dan resisten terhadap pengobatan. Pada umumnya pneumonia ini diderita bayi, yaitu 30% dibawah umur 3 bulan dan 70% sebelum 1 tahun. Seringkali terjadi abses paru (abses multiple), pneumatocel, atau empiema. Pengobatan diberikan antibiotika yang mempunyai spectrum luas yang kiranya belum resisten. Untuk infeksi stapilokokus yang membuat penicillinase, dapat diberikan kloksasilin atau linkomisin. Pengobatan diteruskan sampai ada perbaikan dan menurut pengalaman rata-rata 3 minggu.
b.      Pneumonia streptokokus
Grup A sterptokokus hemolitikus biasanya menyebabkan infeksi traktus respiratorius bagian atas, tetapi kadang=kadang dapat juga menimbulkan pneumonia. Pneumonia streptokokus sering merupakan komplikasi penyakit virus seperti influenza, campak, cacar air dan infeksi bakteri lain seperti pertusis, pneiumonia pneumokokus. Pengobatannya ialah dengan penicillin
c.       Pneumonia bacteria gram negative
Bakteri gram negative yang biasanya menyebabkan pneumonia ialah hemopilus influenza, basil friedlander (klebsiella pneumonia) dan pseudomonas aeruginosa. Angka kejadian pneumonia ini sangat rendah ( kurang dari 1%), akan tetapi mulai meningkat selama beberapa tahun ini karena penggunaan antibiotic yang sangat luas dan kontaminasi alat rumah sakit seperti humidifier, alat oksigen dan sebagainya. Secara klinis, pneumonia sukar dibedakan dari pneumonia yang disebabkan oleh bakteri lain dan hanya dapat ditentukan dengan kembangbiakan. Pneumonia yang disebabkan hemopilus influenza pada bayi dan anak kecil merupakan penyakit yang berat sering menimbulkan komplikasi seperti bakteri, empiema, perikarditis, selulitis, dan meningitis. Obat yang terpilih ialah ampicillin dengan dosis 150 mg/kg BB/hari dengan klorafenikol.
d.      Pneumonia klebsiela
Biasanya dijumpai pada orang tua dan pada penderita diabetes  mellitus, bronkietktasis dan tuberculosis. Bayi dapat menderita penyakit ini karena kontaminasi alat dirumah sakit. Penyakit ini dapat menjadi progesif dan menimbulkan abses. Komplikasi seperti empiema, bakterinya biasanya dijumpai. Obat terpilih untuk mengatasi infeksi ini ialah kanamisin 7,5mg/kgBB/12jam untuk 10-12 hari atau gentamisin.
e.       Pneumonia pseudomonas aeroginosa
Merupakan bronkopneumonia berat, progesif disertai dengan nekrosis dan biasanya menimbulkan kematian. Biasanya ditemukan sebagai infeksi.
2.1.5 PATOFISIOLOGI PNEUMONIA
Sebagian besar pneumonia didapat melalui aspirasi partikel infektif. Ada beberapa mekanisme yang pada keadaan normal melindungi paru dari infeksi. Partikel infeksius difiltrasi di hidung, atau terperangkap dan dibersihkan oleh mukus dan epitel bersilia di saluran napas. Bila suatu partikel dapat mencapai paru-paru, partikel tersebut akan berhadapan dengan makrofag alveoler, dan juga dengan mekanisme imun sistemik, dan humoral. Bayi pada bulan-bulan pertama kehidupan juga memiliki antibodi maternal yang didapat secara pasif yang dapat melindunginya dari pneumokokus dan organisme-organisme infeksius lainnya. Perubahan pada mekanisme protektif ini dapat menyebabkan anak mudah mengalami pneumonia misalnya pada kelainan anatomis kongenital, defisiensi imun didapat atau kongenital, atau kelainan neurologis yang memudahkan anak mengalami aspirasi dan perubahan kualitas sekresi mukus atau epitel saluran napas. Pada anak tanpa faktor-faktor predisposisi tersebut, partikel infeksius dapat mencapai paru melalui perubahan pada pertahanan anatomis dan fisiologis yang normal. Ini paling sering terjadi akibat virus pada saluran napas bagian atas. Virus tersebut dapat menyebar ke saluran napas bagian bawah dan menyebabkan pneumonia virus.
Kemungkinan lain, kerusakan yang disebabkan virus terhadap mekanisme pertahan yang normal dapat menyebabkan bakteri patogen menginfeksi saluran napas bagian bawah. Bakteri ini dapat merupakan organisme yang pada keadaan normal berkolonisasi di saluran napas atas atau bakteri yang ditransmisikan dari satu orang ke orang lain melalui penyebaran droplet di udara. Kadang-kadang pneumonia bakterialis dan virus ( contoh: varisella, campak, rubella, CMV, virus Epstein-Barr, virus herpes simpleks ) dapat terjadi melalui penyebaran hematogen baik dari sumber terlokalisir atau bakteremia/viremia generalisata.
Setelah mencapai parenkim paru, bakteri menyebabkan respons inflamasi akut yang meliputi eksudasi cairan, deposit fibrin, dan infiltrasi leukosit polimorfonuklear di alveoli yang diikuti infitrasi makrofag. Cairan eksudatif di alveoli menyebabkan konsolidasi lobaris yang khas pada foto toraks. Virus, mikoplasma, dan klamidia menyebabkan inflamasi dengan dominasi infiltrat mononuklear pada struktur submukosa dan interstisial. Hal ini menyebabkan lepasnya sel-sel epitel ke dalam saluran napas, seperti yang terjadi pada bronkiolitis.

Rabu, 12 September 2012

Hirschsprung disease

Penyakit Hirschsprung adalah suatu gangguan perkembangan dari sistem saraf enterik dan ditandai oleh tidak adanya sel ganglion dalam usus distal yang mengakibatkan obstruksi fungsional. Kontras enema menunjukkan zona transisi di wilayah rectosigmoid.

Meski kondisi ini digambarkan oleh Ruysch di 1691 dan dipopulerkan oleh Hirschprung pada tahun 1886, patofisiologi itu tidak jelas ditentukan sampai pertengahan abad ke-20, ketika Whitehouse dan Kernohan menggambarkan aganglionosis dari usus distal sebagai penyebab obstruksi dalam seri mereka patients. Pada tahun 1949, Swenson menggambarkan prosedur definitif pertama konsisten untuk penyakit Hirschsprung, rectosigmoidectomy dengan anastomosis coloanal. Sejak itu, operasi lainnya telah dijelaskan, termasuk Duhamel dan teknik Soave. (Lee,2009)

ETIOLOGI.
1. Ketiadaan sel-sel ganglion
Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak pada genetik, immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya

2. Mutasi pada RET proto-oncogene
Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
Hirschsprung’s disease adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari sistem saraf enterik. Mutasi pada proto-oncogene RET adalah diwariskan dengan pola dominan autosom dengan 50 sampai 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus familial dan pada hanya 15 sampai 20% kasus spordis. Mutasi pada gen EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5% dari kasus, biasanya yang sporadis.
3. Kelainan dalam lingkungan
Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan penyakit ini.
4. Matriks protein ekstraseluler
Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan pergerkan dalam perkembangan tahap
awal. Kadar glycoproteins laminin dan kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam
usus dapat mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari Hirschsprung’s disease